Sebagai manusia biasa, Etha sadar. Ia tak mungkin mampu mengatasi problem psikologis yang dihadapi anak-anaknya seorang diri. Apalagi Etha melihat kenyataan di sekelilingnya. Anak-anak dari keluarga broken home kehidupannya juga hancur kecanduan narkoba dan seks bebas. Ia tak mau anak-anaknya akan mengalami hal yang sama. Maka, ia membawa anak-anak dekat dengan Tuhan. Jadilah ketujuh anak Etha, akrab dengan kehidupan gereja sejak mereka kecil. “Saya tidak mau anak saya lepas dari tangan Tuhan. Ngeri rasanya,” katanya begidik. Keputusan itu memang tepat. Anak-anaknya bertumbuh dalam rohani. Suatu kali, si sulung meminjam satu kamar di rumah mereka. Awalnya, Etha tak tahu apa yang mereka lakukan di dalam sana. Hingga suatu hari, ia mencoba mengintip dari jendela. Ia melihat tiga anaknya sedang memasang lilin di lantai. Setelah itu mereka bergabung dengan empat saudaranya yang lain, duduk bersila di lantai. Diterangi oleh sinar lilin (karena nunggak bayar selama dua tahun, listrik dicabut), mereka bergandengan tangan dan melantunkan pujian dan penyembahan pada Tuhan. Ketujuh anak itu bersatu hati, berdoa pada Tuhan. Sebelum mereka meminta sesuatu pada Tuhan, mereka berdoa, “Tuhan kami mengampuni papa kami, karena dia tidak tahu apa yang dia lakukan. Tuhan kami juga mengampuni perempuan yang mengambil papa kami. Beri suami lain supaya papa kami bisa pulang.” Tubuh Etha bergetar. Ada rasa haru bercampur syukur dan bahagia. Ia bangga melihat anak-anaknya tumbuh dalam Tuhan.
SEMPAT TERGODA