“annihilation is certainly an acceptable interpretation of the relevant New Testament passages … For myself, I remain agnostic.”
-Surat dari F.F. Bruce kepada John Stott.
Benarkah neraka versi Alkitab adalah tempat siksaan kekal? Orang jahat di neraka dianggap tidak bisa mati, tetapi sadar terus, mengalami kesakitan selama-lamanya?
Anggapan itu tidak tepat. Alkitab cenderung menganggap neraka tempat pembinasaan, bukan tempat siksaan kekal. Memang, ada beberapa ungkapan atau frasa dalam Alkitab terjemahan yang tampak mendukung tafsiran siksaan kekal.
Korpus Perjanjian Lama (PL) tidak kenal konsep neraka sebagai tempat siksaan kekal. Bagi PL, keadaan akhir orang fasik/jahat adalah dibinasakan & dilenyapkan (Mzm. 37:38), dihanguskan (Mzm.11:6), dihapus dari kitab kehidupan (Mzm. 69:29), meleleh seperti lilin & lenyap bagai asap (Mzm. 68:3), dibakar sampai habis (Mal. 4:1).
Imaji yang lebih merendahkan: bangkainya dimakan ulat yang tak akan mati & api yang tak akan padam (Yes. 66:24), tetapi tidak ada kesan siksaan kekal terhadap jiwa yang tetap sadar terus.
Konon, konsep “siksaan selama-lamanya” baru muncul di zaman peralihan dari zaman PL ke PB. Misal, tercatat di kitab Yudit dalam korpus Deuterokanonika: “… pada hari penghukuman dihukumlah mereka oleh Tuhan yang Mahakuasa.
DidatangkanNya api & ulat ke dalam daging mereka, dan selama-lamanya mereka menangis kesakitan.” (Yudit 16:17). Tampaknya gambaran di kitab Yudit itu memodifikasi Yes. 66:24.
Frasa “siksaan kekal” (Mat. 25:46) adalah terjemahan yang tidak tepat di Alkitab TB-LAI. Seharusnya diterjemahkan sebagai “hukuman kekal” (BIMK-LAI) atau “hukuman abadi”. Holy Bible NRSV, NIV, ESV menerjemahkannya sebagai “eternal punishment”, bukan “eternal torment”.
Frasa “hukuman kekal” adalah terjemahan dari “kolasin aionion” (“hukuman abadi”). Hukuman di zaman sekarang hanya bisa membunuh tubuh, tetapi hukuman di zaman yang kelak datang itu akan membinasakan jiwa & tubuh untuk selamanya. Binasa abadi. Lantas, bagaimana dengan frasa “api kekal” (Mat. 25:41) & “api yang tidak terpadamkan” (Mrk. 9:43).
Frasa itu menunjukkan kedahsyatan alias kualitas api (misal Yud. 1:7, kasus Sodom & Gomora), bukan durasi menyalanya api.
Surat-surat pastoral dalam Perjanjian Baru juga tidak mengenal konsep siksaan kekal. Mereka lebih suka memakai istilah yang bermakna “binasa” (Inggris, “die”, “perish”, “destroyed”). Hanya kitab Wahyu yang menyebut siksaan selama-lamanya, spesifik ditujukan untuk Trio Jahanam: Iblis, si Monster, & sang Nabi Palsu (Why. 20:10).
Sementara itu, di Why. 14:10-11 tidak jelas, apakah para penyembah si Monster itu disiksa selama-lamanya, atau asap hasil penyiksaannya saja yang membubung untuk selama-lamanya. Ada asap tentu ada pembakaran. Jiwa & tubuh mungkin tersiksa sementara, kemudian terbakar habis alias binasa.
Jadi, Alkitab cenderung menganggap nasib akhir orang fasik adalah kebinasaan, bukan siksaan kekal. Sabda Yesus: “Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.” (Mat. 10:28).
Neraka adalah tempat pembinasaan, bukan tempat siksaan kekal. Imaji “api yang tak terpadamkan” mau menunjukkan kualitas api, bukan durasi menyalanya api. Tampaknya, karena jiwa dianggap tidak bisa mati oleh api biasa, maka diperlukan api khusus: api neraka!
“Many contrasting metaphors for hell indicate God’s wrath & punishment. The notion of eternity indicates a final punishment, but not necessarily one that extends for all times.”
-Eerdmans Dictionary of the Bible
Kepustakaan:
Edward W. Fudge, Hell: A final word (Leafwood Publishers, 2012).
The New Oxford Annotated Apocrypha 4th edition (Oxford University Press, 2010).
Eerdmans Dictionary of the Bible (Eerdmans, 2000).
Alkitab dengan Deuterokanonika (Lembaga Alkitab Indonesia,1976).
The NRSV-NIV Parallel New Testament in Greek & English (Zondervan, 1990).
“Annihilationism” (Wikipedia).
Penulis: Jos Manampiring